Al-Hasanah Publishing

Al-Hasanah Publishing
Punya naskah? Ingin diterbitkan jadi sebuah buku? Percayakan naskah Anda bersama penerbitan kami

Selasa, 26 Maret 2019

Prinsip Pengerjaan Laboratorium Arkeologi

Pengerjaan laboratorium arkeologi pada umumnya tergantung terhadap masalah dan tujuan dari penelitian yang dilakukan. Pada kesempatan kali ini, akan membahas mengenai pengerjaan laboratorium arkeologi berdasarkan buku dengan judul "The Crow Canyon Archaeological Center Laboratory Manual, Version 1" oleh Ortman, Scott G., dkk (May 2005). Walaupun pada dasarnya, buku ini menjelaskan secara spesifik pengerjaan laboratorium arkeologi The Crow Canyon", namun pada prinsipnya, pengerjaan tersebut dapat diterapkan pada pengerjaan laboratorium arkeologi lainnya.


Sebelum melakukan pekerjaan laboratorium arkeologi, setiap peneliti harus mengetahui prinsip dasar dari pengerjaan laboratorium arkeologi. Ada tiga prinsip dasar pengerjaan laboratorium arkeologi yang harus diterapkan, diantaranya:
  1. Berkomitmen untuk mencapai penelitian yang terbaik dan melakukan prosedur laboratorium yang sesuai dalam menganalisis artefak secara konsisten dan sistematis 
  2. Pemilihan lokasi dan konteks penggalian yang tepat, dimana terdapat bukti atau kumpulan artefak pada situs galian. Selain itu melakukan pemilihan koleksi dengan melakukan pelabelan dan pengorganisasian artefak, serta dokumentasi lengkap koleksi. 
  3. Melakukan kemitraan dengan publik, dengan melibatkan partisipasi langsung.

Selain mengetahui dan menerapkan prinsip dasar dalam pengerjaan laboratorium arkeologi, setiap peneliti juga harus mengetahui konsep artefak yang akan diteliti, dimana setiap artefak yang diteliti akan memberikan berbagai informasi, misalnya:

  1.  Menyimpan bukti perilaku dalam bentuk manufaktur (mengubah bahan baku), teknik dan proses. Contohnya: tembikar kuno mengumpulkan bahan baku atau mendapatkannya dari yang lain dan memanipulasi bahan-bahan tersebut dalam urutan langkah-langkah yang sering meninggalkan jejak fisik yang diamati seperti sambungan tanah liat yang tidak diobservasi, tanda gesekan, slip dan desain spesifik lukisan di permukaan. (bukti langsung dari proses pembuatan)
  2. Menyimpan bukti perilaku melalui fungsi yang tersirat dari bentuk dan juga menyimpan bukti perilaku dalam sejarah penggunaan aktualnya. Melalui penggunaan analisis jejak pakai, dapat mengkonfirmasi bahwa penggunaan aktual dari artefak sesuai dengan kegunaannya. Sehingga jika ditemukan perkakas yang aus atau rusak di situs arkeologi, maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas merancang alat dilakukan oleh seseorang di suatu titik di lokasi situs masa lalu yang sedang diteliti. Contohnya: penemuan kapak batu yang patah menandakan penebangan pohon, aus mano menyiratkan penggilingan jagung, dan titik proyektil menyiratkan aktivitas bekas berburu. Kemudian dalam mengukur jumlah fragmen alat atau wadah bekas dari berbagai jenis fungsional dari bukti spesifik di situs arkeologi, harus dapat memberikan informasi mengenai frekuensi kekerabatan berbagai kegiatan di berbagai lokasi situs masa lalu.
  3. Menyimpan bukti perilaku dengan cara dimasukkan dalam catatan arkeologis. Dari penelitian etnoarchaeological, diketahui bahwa pengendapan artefak di situs artefak tidak teracak, tetapi terpola oleh berbagai kesadaran dan perilaku tidak sadar. Artefak sering berpindah dari lokasi asalnya oleh berbagai proses alam dan budaya, namun hasil dari pengendapan asli sebuah artefak berasal dari perilaku manusia yang berpola. Oleh karena itu, dengan menggunakan hasil penelitian kelas menengah pada proses pembentukan situs, dapat dibuat kesimpulan tentang perilaku berkontribusi pada pola spasial yang dapat dilihat dari distribusi artefak di dalam dan di situs arkeologi. Contohnya, jumlah dan variasi artefak harus telah dihitung sehingga dapat membandingkan langsung deposit dari artefak
Identifikasi pola pada perilaku masa lalu adalah cara utama seorang arkeolog mempelajari hal-hal baru tentang masa lalu karena artefak mengandung banyak bukti perilaku langsung dan tidak langsung. Prosedur laboratorium dapat berfokus pada pengumpulan data yang dapat mengukur perilaku tersebut, dengan cara menggunakan jumlah dan jenis artefak yang ditemukan dari berbagai konteks, dan secara bersamaan menghubungkan argumen yang dapat menentukan korelasi perilaku fisik dari karakteristik artefak, untuk mempelajari variasi perilaku masa lalu dam ruang dan waktu. 
 
 
Adapun dalam setiap pengerjaan laboratorium arkeologi, memiliki tujuan kerja yang harus dicapai, diantaranya:
  1. Memberikan interpretasi fungsional dasar untuk setiap artefak yang dikumpulkan di lapangan, dengan cara merancang sistem klasifikasi artefak untuk menekankan perbedaan fungsional antar artefak.
  2. Menjaga kontrol barang-barang dari setiap artefak mulai dari pada saat masuk ke lab hingga saat dipindahkan ke fasilitas kurasi permanen. Artinya, segala yang terjadi pada setiap artefak harus dipastikan bahwa setiap item diberikan label yang menyebutkan lokasi penemuannya.
  3. Memastikan bahwa prosedur analisis dasar dan data yang dihasilkan konsisten dengan standar saat ini. Selain itu terus meninjau laporan arkeologis baru untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan sebanding dengan, dan kompatibel dengan, yang dikumpulkan oleh arkeolog yang bekerja di lembaga lain.
  4. Melakukan deskripsi rinci setiap artefak dan kuantifikasi artefak secara umum untuk memperkirakan parameter populasi untuk kategori fungsional artefak dalam berbagai konsteks situs. Dengan demikian, mengklasifikasikan dan menghitung dan/atau menimbang setiap artefak yang masuk ke dalam lab.
  5. Membuat arsip/database komputer yang lengkap dan akurat. Data kontekstual dan analitis direkam secara detail dan produktif dalam mengatur dan mengambil artefak dan data artfeak untuk penelitian.
  6. Memastikan bahwa data artefak, bahkan ketika dikumpulkan oleh berbagai analis, objek tersebut dapat dihubungkan. Hal ini dilakukan karena dapat menggabungkan pengamatan yang dilakukan oleh berbagai peneliti untuk suatu objek yang khusus dalam memfasilitasi identifikasi pola baru dalam budaya material. Contohnya, ketika mengidentifikasi jenis cat dan temper untuk sherds tembikar selama dilakukan analisis yang berbeda, namun tetap ingin memastikan bahwa pada akhirnya dapat menentukan dan menunjukkan berbagai sherds kombinasi cat dan temper. Selain itu, hal ini juga memungkinkan bagi peneliti lain untuk memeriksa pekerjaan dengan membandingkan setiap pengamatan dengan objek penelitian yang sebenarnya. Hal ini sebagai bukti penting dalam menghubungkan data yang dikumpulkan dengan data yang dikumpulkan oleh peneliti lainnya. Dalam upaya mencapai tujuan penelitian, sebaiknya peneliti memastikan bahwa setiap artefak yang akan dianalisis secara individual adalah dengan mengaitkan serangkaian nomor pengidentifikasian.
  7. Mengantongi dan memberi label artefak saat menganalisis, sehingga ada satu kesatuan korespondensi antara basis data dan koleksi artefak.
  8. Menyiapkan koleksi untuk kurasi permanen menurut aturan dan standar profesional saat ini. Mengatur koleksi dengan cara membuat kantung setaip artefak dapat memudahkan untuk diketemukan dan meunggunakan kemasan arsip yang berkualitas, yang dirancang agar dapat bertahan selama beberapa generasi.
 
Selain mengetahui  tujuan kerja dari prosedur pengerjaan laboratorium, setiap pengerjaan laboratorium arkeologi harus memiliki kelembagaan yang jelas. Dimana konteks kelembagaan pekerjaan laboratorium sangat mengambil alih hasil dari pengerjaan laboratorium. Kelembagaan pekerjaan laboratorium harus ada dan jelas, dimana setiap pengerjaan atau kerja arkeologi tidak dilakukan secara perorangan, namun memerlukan beberapa ahli dan anggota untuk mencapai tujuan dari penelitian. Adapun konteks kelembagaan pekerjaan laboratorium arkeologi yang pada umumnya dilakukan disetiap pekerjaan lapangan arkeologi, dapat diistilahkan sebagai berikut:
  1. Staf karyawan penuh waktu yang diberikan pelatihan serta menjadi pengawas bagi peserta magang dalam sebuah penelitian. Karyawan yang bertanggung jawab dalam mengerjakan berbagai tugas, termasuk kurasi, kontrol kualitas, desain dan manajemen basis data, analisis khusus, analisis kuantitatif data artefak, dan penulisan untuk publikasi profesional.
  2. Staf musiman yang dapat diambil dari tenaga pendidik dan arkeolog. Tenaga pendidik bertanggung jawab untuk merancang dan merevisi kurikulum pendidikan dan sebagai instruktur utama dalam program penelitian. Sedangkan para arkeolog melakukan berbagai macam tugas laboratorium yang berfokus utama pada analisis artefak.
  3. Staf magang penelitian dan sukarelawan lokal. Staf magang dilatih di semua aspek laboratorium dasar, termasuk manajemen koleksi, katalog dan analisis, entri data, dan mengontrol kualitas. Staf magang melakukan berbagai tugas dan menyelesaikan berbagai pekerjaan. Sedangkan staf relawan lokal diambil dari penduduk sekitar lokasi penelitian yang dianggap memiliki bakat untuk kerja di laboratorium dan dapat berkomitmen untuk mengerjakan pekerjaan sesuai dengan jadwal yang ada. Relawan dilatih dan diawasi oleh staf laboratorium dalam melakukan berbagai tugas seperti pemrosesan artefak, termasuk mencuci, membuat katalog, analisis chipped-stone, dan analisis tembikar.
  4. Peserta pendidikan publik yang dapat melibatkan berbagai usia mulai dari Sekolah Dasar, tidak dilibatkan dalam kerja lapangan, namun dapat dilibatkan pada proses pencucian artefak dari situs penggalian. Sekaolah menengah dan dewasa dapat diajarkan cara mengidentifikasi artefak yang perlu dikumpulkan dari lapangan. Selain itu dapat dilibatkan pada proses analisis artefak, entri data, dan manajemen koleksi. Hal ini sangat banyak membantu dalam proses pekerjaan laboratorium.
 
Setelah memahami penjelasan diatas, maka pada prinsipnya untuk memperoleh jawaban atas masalah penelitian yang ingin dijawab, setiap pengerjaan arkeologi baik lapangan maupun laboratorium sebaiknya disusun dengan sangat baik. Menyusun proses pengerjaan laboratorium arkeologi sebelum melaksanakan pengerjaan, akan memudahkan pada proses pengerjaan, pengaturan kerja, hingga hasil yang ingin dicapai dapat terpenuhi. Ada beberapa prinsip umum dalam menyusun proses laboratorium arkeologi, diantaranya:
  1. Mencocokkan keahlian dan kemampuan kognitif dari berbagai individu, sehingga yang lebih muda atau kurang berpengalaman dilibatkan dalam tahap pemrosesan awal, dan yang lebih tua dan berpengalaman membantu pada tahap selanjutnya.
  2. Memisahkan fungsi koleksi dan manajemen lab dari fungsi penelitian. Hal ini digunakan untuk mengatur koleksi dan memelihara bukti kontrol daripada pengamatan catatan selama proses analisis, yang memuat tugas manajemen koleksi menuju langkah awal dari pemrosesan yang dilakukan (peserta muda/tidak berpengalaman), hingga tugas pengumpulan data hingga tahap akhir (peserta tua/berpengalaman).
  3. Menyususn prosedur dengan cara meminimalkan peluang untuk pencatatan kesalahan yang terjadi, sehingga lebih sedikit terjadi perubahan retroaktif untuk data dan label yang diperlukan. Selanjutnya adalah menciptakan karya tambahan: semua catatan asli, label dan data yang dibuat harus dikoreksi.
  4. Membedakan berbagai langkah dalam mengidentifikasi artefak dari mengidentifikasi kriteria yang digunakan. Setiap ahli yang terlibat dalam penelitian, memiliki pengetahuan umum yang dibawanya dalam proses klasifikasi. Oleh karena itu, perlunya memformalkan langkah-langkah yang terlibat dalam mengklasifikasi artefak sehingga dapat mencapai setiap langkah yang diperlukan. Karena itu, sangat penting bagi setiap individu yang terlibat dalam penelitian dapat mengidentifikasi dengan benar sesuai dengan tujuan dari penelitian, sebab setiap langkah dalam proses sorting menggunakan kriteria identifikasi yang spesifik.
  5. Menyesuaikan tingkat pengawasan dengan kehalusan pengamatan yang diperlukan dalam tugas yang diberikan. Misalnya pada proses pencucian artefak yang memastikan artefak dibersihkan dengan baik, penelitinya tidak boleh dicampur dengan bagian lainnya, seperti staf yang dibagian katalogisasi.
  6. Menjaga keseimbangan antara efisiensi dan akurasi, dengan kata lain bahwa kebutuhan untuk mengukur sampel artefak secara akurat harus seimbang dengan kenyataan bahwa estimasi dari parameter populasinya akan selalu tidak sempurna dari sumberdaya yang terbatas untuk ditanggung dalam memproses peningkatan praktis dalam estimasi parameter populasi yang digunakan dalam penelitian (seperti proporsi artefak dari berbagai jenis dalam suatu assemblage), sebagai lawan dari fokus akurasi.
  7. Meminimalkan jumlah langkah perekaman yang terjadi antara penyortiran artefak dan memasukkan data yang dihasilkan dalam database penelitian. Contohnya yakni membuat basis data komputer yang menyimpan informasi sumber dan analisis yang akurat untuk setiap artefak, dan mengatur koleksi agar setiap catatan komputer sesuai dengan label dan isi kantong artefak.
 

Tidak ada komentar: