Al-Hasanah Publishing

Al-Hasanah Publishing
Punya naskah? Ingin diterbitkan jadi sebuah buku? Percayakan naskah Anda bersama penerbitan kami

Sabtu, 21 September 2019

Gerabah Masa Prasejarah

Sebagaimana dikemukakan oleh Koentjaraningrat kesenian merupakan salah satu unsure kebudayaan yang universal dan dapat ditemukan pada semua kebudayaan di dunia, baik dalam masyarakat pedesaan yang terpencil maupun dalam masyarakta perkotaan yang besar dan kompleks (1994:2). Gerabah sebagai salah satu bagian dari hasil budaya manusia, dalam sistem sosial budaya masyarakat tradisional memiliki keterkaitan yang erat dengan berbagai aktivitas ataupun upacara tradisional masyarakat pendukungnya. 

Eratnya hubungan baik antara keluarga dan masyarakat, hampir setiap kegiatan sosial budaya dilakukan secara bersama-sama. Demikian pula dalam pembuatan gerabah yang di dalamnya terkandung unsur sent terapan perlu dipelajari bukan hanya sebagai seni tradisi yang diturunkan oleh nenek moyang, melainkan juga sebagai upaya untuk memahami keberadaan gerabah dalam tata kehidupan budaya masyarakat. Kerajinan gerabah, anyam-anyaman dari bambu, ukiran kayu dan yang lainnya walaupun dalam bentuknya sederhana merupakan seni komunitas pedesaan yang masih akrab, homogen dan masih berfungsi untuk mengikat solidaritas komunitas (Kayam dalam Sudarso, 2002:2). 


Gerabah atau tembikar merupakan peninggalan budaya tradisional yang tergolong sangat tua. Menurut para ahli, berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui bahwa benda-benda tembikar atau gerabah sudah mulai dikenal sejak masa bercocok tanam. Sejalan dengan pendapat tersebut Yardani Yumarta (1981:9) menyebutkan gerabah mulai dikenal manusia sejak zaman neoliticum ketika manusia purba mulai hidup menetap, bercocok tanam dan mengenal api.

Tradisi gerabah merupakan tradisi yang termasuk tua dalam perkembangan kebudayaan manusia. Berdasarkan beberapa kajian sebelumnya ditetapkan bahwa manusia mulai mengenal gerabah sejak dikenalnya tradisi bercocok tanam di daerah pedalaman dan tradisi mencari hasil laut di daerah pantai pada masa prasejarah lebih dari 10.000 tahun yang lalu (Gardner, 1978: 142; Weinhold, 1983: 12). Gerabah relative tahan air dan tahan terhadap panas api, sehingga dapat dipakai dalam berbagai macam tempat penyimpanan (storange vessel) dan alat atau tempat dalam keperluan masak-memasak (cooking vessel). Dalaam beberapa kajian telah memberikan gambaraan bahwa pada masyarakat tertentu, gerabah meerupakan sebuah benda yang dianggap memiliki fungsi serta arti penting di dalam kehidupan, baik dalam kehidupan social ekonomi maupun kehidupan religious (Shepard, 1965: 348-352).

Jenis-jenis gerabah yang dikenal dalam tradisi gerabah di Indonesia, terdiri atas:
  1. Jenis-jenis wadah (vessel). Jenis-jenis wadah yang dikenal adalah periuk, cawan (mangkuk), piring, kendi dan  tempayan.
  2. Jenis-jenis bukan wadah. Jenis-jenis ini antara lain, yaitu patung-patung terakota, saluran-saluran air, dinding sumur, bandul jala, manik-manik, tablet-tablet tanah liat, dan lain-lain.

Gerabah banyak ditemukan di berbagai situs-situs arkeologi di Indonesia, termasuk di situs-situs prasejarah. Di situs-situs prasejarah yang mengandung gerabah, ada yang termasuk dalam situs neolithik dan sebagian besar termasuk ke dalam situs perundagian (paleometalic). Gerabah-gerabah dari beberapa situs prasejarah di Indonesia akan di bahas sebagai berikut:


Situs Kelapa Dua
Situs Kelapa Dua terletak di aliran sungai Ciliwung, di sekitar tepi sungai di daerah Kelapa Dua Kulon, Kecamatan Cimanggis. Situs Kelapa Dua ditemukan adanya pecahan-pecahan gerabah, beliung batu persegi, dan serpih-serpih batu. Gerabah pada situs ini termasuk dalam gerabah neolitik. Gerabah neolitik memiliki cirri-ciri yang sangat sederhana, yaitu kebanyakan tidak berhias atau berhias hiasan gores, bentuknya juga tidak banyak bervariasi, serta memiliki kerapuhan yang amat tinggi.

Gerabah yang ditemukan di situs ini memiliki kondisi yang sangat buruk. Hal ini kemungkinan dikarenakan oleh teknik pembuatannya yang masih sederhana dan ditambah dengan keasaman tanah yang cukup tinggi. Akibatnya keadaan permukaan gerabah yang sangat aus serta kondisi gerabah yang sangat rapuh. Akan tetapi dari pecahan-pecahan gerabah yang ditemukan telah dapat diketahui jenis-jenis gerabahnya, yaitu periuk, mangkuk, dan mangkuk berkaki (pendupaan).

Selain gerabah, di situs Kelapa Dua juga ditemukan artefak yang lain, seperti: beliung batu persegi, batu asahan, serpih-serpih batu, fragmen gelang batu, dan manic-manik. Selain itu gerabah neolithik tidak hanya berada di situs Kelapa Dua, tetapi dapat juga di temukan di situs Kelumpang dan Minanga Sipakka di Sulawesi Selatan.


Situs Pejaten
Situs Pejaten terletak di tepi Kali Ciliwung. Dari hasil survey dan ekskavasi tahun 1971 sampai tahun 1973 telah menemukan pecahan-pecahan gerabah, fragmen beliung batu persegi, kapak perunggu, fragmen cetakan, gelang perunggu, cincin perunggu, fragmen alat besi, butir-butir terakota (tanah liat terbakar), fragmen tulang, arang, piring berkaki, dan serpih batu dalam jumlah yang cukup banyak. Bukti-bukti menunjukkan bahwa temuan-temuan di Situs Pejaten saling berhubungan satu sama lain.

Benda-benda logam yang terbuat dari perunggu dan besi dalam bentuk cincin dan gelang perunggu serta alat-alat besi, berasosiasi dengan pecahan-pecahan gerabah dan benda-benda yang lain. Selain itu temuan pecahan-pecahan cetakan setangkup (bivalve), yang terbuat dari tanah liat yang dibakar juga berasosiasi dengan temuan arang dalam jumlah yang cukup banyak.

Berdasarkan dari temuan-temuan yang didapat, ada dugaan bahwa situs Pejaten merupakan situs pemukiman dengan kegiatan perbengkelan logam dari masa perundagian (paleometalik), dengan pertanggalan berdasarkan analisis sampel arang (C14) berkisar antara 1830 plus/minus 250 BP (ANU-1519) dan 2550 plus/minus 200 BP (ANU-1520) (Sutayasa, 1973; Hasan Djafar, 1988: 6).


Situs-situs Sepanjang Sungai Ciliwung
Situs-situs lain yang mengandung sisa-sisa gerabah dari masa prasejarah di seekitar Jakarta, yaitu situs Bukit Sangkuriang dan Bukit Kucong, situs Kampung Kramat, situs Condet Balekambang, dan situs Cilincing. Temuan yang ditemukan di situs-situs tersebut ialah gerabah, beliung batu persegi, benda logam, serpih batu, cetakan tanah liat dibakar, dan butir-butir terakota. Pada situs Bukit Sangkuriang dan Bukit Kucong ditemukan pecahan-pecahan beliung persegi, batu asahan, pecahan gerabah berhias dan juga polos, serta serpih-serpih dan gelang batu.

Situs Kampung Kramat terletak di tepi Kali Ciliwung, di daerah Cililitan. Temuan-temuan pada situs ini, yaitu gerabah, beliung batu persegi, serpih-serpih batu, batu asahan, dan gumpalan tanah terbakar. Beling batu persegi yang ditemukan pada umumnya diupam (diasah) halus, sedangkan gerabahnya terdiri dari periuk, tempayan, mangkuk, mangkuk berkaki, piring, pasu, dan tutup wadah.

Di situs Condet Balekambang ditemukan pecahan-pecahan gerabah, pecahan beliung persegi, batu asahan, pecahan cetakan, serpih batu, butiran-butiran tanah terbakar dan parang besi. Gerabah dari situs` ini memiliki kesamaan dengan gerabah Kampung Keramat. Gerabahnya ada yang berhias gores dengan pola sisir, hiasan pola tali, hiasan pola anyaman dan menggunakan teknik tatap.

Situs Cilincing terletak di pantai Cilincing dekat Marunda. Di situs ini ditemukan berupa pecahan-pecahan gerabah, manik-manik, dan tulang. Pecahan-pecahan gerabah tersebut berasal dari periuk, tutup periuk, mangkuk, dan kendi. Gerabah ini umumnya berwarna abu-abu kehitaman dan berwarna merah, serta ada yang berhias dari teknik tekan dan teknik gores. Gerabah-gerabah tersebut memiliki persamaan dengan geerabah Buni (Hasan Djafar, 1988: 4-9).


Situs Buni
Gerabah ‘Kompleks Buni’ pertama kali ditemukan di desa Buni, kabupaten Bekasi Barat. Akan tetapi kemudian daerah penemuannya meluas kea rah timur sekitar pantai utara Jawa Barat. Berdasarkan teknik pembuatan, bentuk serta hiasan gerabah, ada dugaan bahwa gerabah ‘Kompleks Buni’ ini sejaman dan mendapat pengaruh dari gerabah Sa-huynh-Kalanay serta gerabah Bau-Malayu, yaitu berkisar antara tahun 200-500 M. Benda-benda tanah liat dari ‘Kompleks Gerabah Buni’ terdiri atas jenis-jenis periuk, cawan, pedupaan, dan kendi.

Gerabah pada ‘Kompleks Buni’ dapat dibedakan dalam dua kelompok gerbah menurut warnanya, yaitu:

  1. Gerabah yang berwarna kemerah-merahan. Gerabah ini berhias gores dengan pola garis sejajar dan tumpal. Gerabah ini jumlahnya lebih sedikit dari gerabah yang berwarna keabu-abuan.
  2. Gerabah yang berwarnakeabu-abuan. Gerabah ini pada umumnya menggunakan pola hias dengan 'teknik tekan' atau dengan 'teknik gores'. Pola hias tekan berupa lingkaran memusat, garis-garis, dan pola jala. Sedangkan pola hias teknik gores terdiri atas garis-garis sejajar dan tumpal.

Gerabah-gerabah pada ‘Kompleks Buni’ ditemukan bersama-sama dengan tulang-tulang manusia dan benda-benda lainnya seperti: beliung batu persegi, gelang-gelang batu, alat-alat dari logam (perunggu dan besi), perhiasan dari emas, manic, serta terakota. Berdasarkan atas temuan-temuan tersebut, diduga gerabah-gerabah tersebut merupakan salah satu benda magis yang digunakan sebagai alat upacara atau sebagai bekal kubur, serta berfungsi sebagai benda keperluan kehidupan sehari-hari (Soejono, 1976; 247-248).



Situs Anyer
Situs Anyer terletak di tepi pantai Selat Sunda, tepatnya di Desa Anyar, Kabupaten Pandeglang, propinsi Jawa Barat. Menurut Van Heekeren, situs Anyer berasal dari tahun 200-300 M, sedangkan Soejono memperkirakan dari tahun 200-500 M. Di situs ini ditemukan beberapa jenis gerabah antara lain tempayan, kendi, periuk, dan cawan.

Menurut Van Heekeren tempayan-tempayan besar yang ditemukan dari situs Anyer digunakan sebagai wadah penguburan primer, walaupun penguburan sekunder (secondary burial) juga dikenal disini seperti yang dibuktikan oleh temuan kerangka manusia yang sudah tidak lengkap serta posisi yang tidak teratur.

Penguburan dengan tempayan dilakukan dengaan cara menempatkan orang yang mati dalam keadaan atau posisi sedang jongkok, disertai dengan bekal kubur yang terdiri dari benda-benda tanah liat, benda-benda logam, dan manic. Tempayan kubur ini ditutup dengan tempayan lain yang berukuran lebih kecil.

Benda-benda gerabah yang ditemukan dalam situs Anyer diduga merupakan benda-benda sakral yang berfungsi sebagai perlengkapan dalam upacara penguburan, karena kebanyakan ditemukan dalam konteks kubur (Sukendar, 1982: 23).



Situs Melolo
Tradisi kubur tempayan juga ditemukan di desa Melolo, kecamatan Rindi Umalulu, Kabupaten Sumba Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jenis-jenis gerabah yang ditemukan di situs ini adalah tempayan, kendi dan periuk. Gerabah-gerabah dari situs Melolo sebagian ada yang berhias dan sebagian lagi polos. Hiasan kebanyakan terdapat pada kendi dan sebagian tempayan, sedangkan periuk pada umumnya polos. Pola hiasnya terdiri dari: pola garis, titik, belah ketupat, tumpal, serta pola lingkaran. Selain itu ada pula pola yang menggambarkan muka manusia. Teknik pembuatannya memperguunakan cara pembuatan yang tergolong teknik pijat digabungkan dengan teknik tatap-landas (Heekeren, 1956a: 4; Soejono, 1976: 254).

Gerabah-gerabah dari situs melolo ini ditemukan dalam konteks kubur, sedangkan jenis kendi dan periuk ditemukan di dalam tempayan yang berisi tulang-tulang manusia. Gerabah pada situs ini berfungsi sebagai wadah kubur dan sebagai bekal kubur. Dengan hadirnya beliung batu persegi dan absennya benda logam, maka Heekeren memasukkan situs Melolo ke dalam masa neolitik, akan tetapi berdasarkan tipe-tipe gerabahnya Soejono menduga situs Melolo berasal dari masa paleometalik (Heekeren, 1956a: 6-9; Soejono, 1976: 254-255; Suyati, 1984: 13, 85).


Situs Gilimanuk
Situs Gilimanuk berada pada ketinggian lima meter di atas permukaan laut dan terletak di pantai teluk Gilimanuk di Bali Bagian Barat. Daerah tersebut dibatasi oleh teluk Gilimanuk pada bagian utara, Selat Bali di bagian barat, dataran di bagian selatan dan timur.  Proses geomorfologi daerah Gilimanuk diuraikan oleh Vestapen berdasarkan pembentukan tambak yang terjadi di daerah Gilimanuk dan sekitarnya. Menurut Vestapen daerah Gilimanuk tersusun atas lima tingkat tambak darat (spit-strandhaak). Gerabah-gerabah pada situs Gilimanuk terletak di antara tambak yang pertama dan yang kedua (Vestapen, 1975: gamb. 11; Soejono, 1977: 28).

Berdasarkan pada penelitian geologi, stratigrafi Gilimanuk dapat dibagi menjadi enam satuan endapan: satuan batu gamping, satuan batu pasir gampingan, satuan endapan teras I, satuan endapan teras II, satuan endapan teras III, dan satuan endapan pantai. Gerabah-gerabah ditemukanpada umumnya utuh pada satuan endapan teras I bersama dengan kerangka atau tulang-tulang manusia, sedangkan pecahan-pecahan gerabah banyak ditemukan pada endapan teras II.

Aktifitas manusia pendukung budaya gerabah Gilimanuk berada di lingkungan daerah pantai bersamaan dengan terbentuknya endapan teras II. Mereka hidup dari memanfaatkan hasil laut seperti ikan dan kerang sebagai salah satu makanannya. Berdasarkan data arkeologis dapat diketahui bahwa fauna yang hidup di daerah Gilimanuk terdiri dari tiga jenis hewan yaitu: jenis burung, jenis mamalia dan jenis hewan laut. Hewan-hewan tersebut antara lain: burung, ayam, babi, anjing, tikus, kelelawar, berbagai jenis ikan, dan macam-macam jenis kerang.

Berdasarkan pada sisa tulang pada sekitar abad 2 M, penduduk tersebut berasal dari ras dengan cirri Austromelanesid dan Mongolid. Penduduk tersebut diduga telah mengenal mutilasi gigi, caries gigi, dan beberapa penyakit tulang. Dari hasil penelitian membuktikan bahwa daerah ini pernah di huni oleh komunitas yang hidup pada sekitar abad 2 M, sedangakan berdasarkan tipologi temuan artefak dan keadaan geografisnya, diperkirakan daerah tersebut telah dihuni pada sekitar awal M.

Komunitas tersebut disepakati termasuk ke dalam komunitas prasejarah masa perundagian yang sudah mengenal sistem pemukiman tetap, pembagian kerja, penguasaan teknologi pembuatan barang-barang penunjang kehidupannya, serta pemujaan pada roh nenek moyang. Soejono mengajukan dugaan bahwa komunitas di Gilimanuk itu adalah komunitas yang menggantungkan diri pada hasil laut seperti ikan dan kerang untuk keperluan hidupnya.

Diperkirakan hasil sumberdaya laut yang berupa ikan atau kerang srta garam, selain dkonsumsi sendiri juga dijadikan barang komoditi, untuk ditukarkan dengan barang komoditi dari komunitas lain terutama komunitas pedalaman. Dari hasil ekskavasi menunjukkan bahwa kerang tidak hanya dimanfaatkan sebagai bahan makanan, tetapi juga telah digunakan sebagai bahan dasar untuk membuat alat-alat oleh komunitas Gilimanuk. Alat-alat yang berupa lancipan, serut gurdi, sendok dan pisau dibuat dari kulit kerang yang termasuk klas Pelecypoda.

Selain barang-barang dari kulit kerang, komunitas itu juga menggunakan benda-benda tanah liat bakar, benda logam, dan benda-benda yang terbuat dari kaca atau batu. Barang-barang dari tanah liat antara lain berupa  gerabah, gelang, dan manik tanah liat. Alat-alat dan perhiasan yaitu: kapak, tajak, pisau, mata tombak, mata kail, gelang, anting, cincin, penutup mata, yang pada umumnya terbuat dari bahan logam seperti perunggu, besi, dan emas. Ada pula perhiasan dan alat yang terbuat dari kaca atau batu, yaitu manic, gelang, batu pipisan, dan batu pembelah. Berdasarkan ketiadaan bahan baku untuk pembuatan barang-barang tanah liat, logam, kaca ataupun batu di daerah Gilimanuk, Djuwita menduga barang-barang itu adalah hasil tukar menukar dengan komunitas lain.

Kehidupan religious komunitas Gilimanuk tercermin dari temuan berupa sisa-sisa penguburan manusia. Melalui hasil penelitian yang dilakukan Soejono didapatkan gambaran bahwa penguburan di Gilimanuk itu memperlihatkan berbagai macam pola. Secara garis besar cara penguburan Gilimanuk dapat dibagi menjadi penguburan dengan wadah dan penguburan tanpa wadah. Dari ke dua cara penguburan itu Soejono menggolongkannya lagi menjadi empat pola yaitu: kubur pertama atau kubur primer, kubur ke dua atau kubur sekunder, kubur campuran, dan kubur tempayan sepasang.

Berdasarkan hasil ekskavasi diketahui bahwa kubur di situs Gilimanuk berisi kerangka atau tulang-tulang manusia, dan benda-benda perlengkapannya. Gerabah dan benda-benda logam menjadi perlengkapan penguburan yang penting. Barang-barang yang terbuat dari kedua bahan itu sering ditemui satu konteks pada kubur Gilimanuk. Benda-benda logam yang disertakan dalam penguburan bersama gerabah, pada umumnya terbuat dari perunggu atau emas.

Berbeda dengan benda logam, benda-benda yang terbuat dari tanah liat banyak ditemukan pada kubur Gilimanuk. Hamper semua kubur disertai bekal-kubur gerabah. Selain digunakan sebagai benda yang disertakan pada orang mati, gerabah ada juga yang dipakai sebagai wadah untuk penguburan yaitu berupa kubur dalam tempayan. Dari kubur-kubur Gilimanuk tersebut ditemukan berbagai jenis gerabah, baik yang masih dalam keadaan utuh maupun pecahan-pecahannya. Jenis-jenis gerabah tersebut antara lain berupa: periuk, cawan, kendi, dan tempayan.

Secara garis besar gerabah Gilimanuk dapat dikelompokkan ke dalam jenis-jenis gerabah sebagai berikut: cawan, periuk, kendi, tempayan, piring, dan tutup periuk. Jenis-jenis gerabah tersebut dapat dibedakan bentuk umumnya secara jelas, terutama dari bentuk badannya. Hamper semua jenis gerabah yang utuh atau dapat direkonstruksi, dapat diketahui bentuk bagian badannya, sedangkan bagian-bagian yyang lain seperti: leher, cerat, pegangan, dan kaki belum tentu ada pada setiap jenis gerabah.

Dari pengamatan bentuk pada bagian badan gerabah Gilimanuk, dapat ditemukan adanya tiga golongan gerabah yaitu: gerabah bulat, berkarinasi dan silindris. Golongan gerabah bulat merupakan golongan yang paling banyak jenisnya antara lain: periuk bulat, cawan  bulat, kendi bulat, tempayan bulat, dan piring bulat. Golongan gerabah berkarinasi hanya terdiri dari: periuk berkarinasi dan cawan berkarinasi, sedangkan gerabah silindris hanya berupa cawan silindris.



Situs Plawangan
Situs Plawangan terletak di desa Plawangan, berjarak 24 km dari kota Laseni Jawa Tengah. Secara geografis daerah penelitian arkeologis di situs Plawangan dibatasi oleh laut Jawa di sebelah utara, pegunungan Lasem di sebelah selatan serta daratan sebelah barat dan timurnya. Penelitian geologi oleh Djubianto dan Sukorahardjo mengungkapkan bahwa daerah Rembang dapat dibagi ke dalam dua satuan morfologi, yaitu satuan morfologi perbukitan vulkanik dan satuan morfologi undak pantai. Pada satuan morfologi perbukitan vulkanik dijumpai temuan arkeologis berupa situs megalitik terjan dan situs neolitik Binangun (Djubiantono, 1990: 96; Prasetyo & Sudiono, 1990: 122), sedangkan apada satuan morfologi undak pantai ditemukan gerabah di situs Plawangan dan Sluke.

Stratigrafi daerah Plawangan tersusun sebagai berikut: satuan batuan tertua adalah satuan batu pasir kasar, kemudian satuan breksi vulkanik diendapkan secara selaras, dan pada bagian paling atas diendapkan secara  tidak selaras satuan batuan yang berumur paling muda berupa satuan undak pantai. Posisi temuan gerabah bersama temuan lain di situs Plawangan adalah pada kedalaman 0,5-1,5 meter dalam endapan undak pertama, yaitu undak termuda yang berketinggian 4 meter dari permukaan laut (Djubiantono, 1990: 98).

Analisa terhadap tulang-tulang manusia dari situs Plawangan yang dilakukan oleh Boedhisampurno, menghasilkan kesimpulan bahwa komunitas Plawangan itu terdiri dari ras yang berciri lebih dekat kepada Mongolid dengan sedikit unsure Austromelanesid. Artefak atau benda-benda budaya yang ditemukan di situs Plawangan antara lain berupa benda-benda tanah liat, benda logam, manic dari berbagai macam bahan, serta keramik Cina. Benda-benda itu kebanyakan menjadi alat perlengkapan kuburan, yang berupa kubur primer dan sekunder, dengan dan tanpa wadah. Atas dasar sisa budaya tersebut, diduga komunitas ini termasuk ke dalam komunitas masa perundagian atau masa paleometalik, seperti komunitas Gilimanuk. Plawangan dan sekitarnya memberi peluang bagi sekelompok orang yang tergabung dalam komunitas masa lampau untuk melakukan berbagai kegiatan dalam menunjang kehidupannya termasuk kegiatan yang bersifat religious.

Data arkeologis mendukung kemungkinan kegiatan pemukiman situs Plawangan, sebab sisa kehidupan masa lalu yang ditemukan selain berupa sisa hewan, telah ditemukan pula benda logam, gerabah dan benda-benda lain yang berasosiasi dengan tulang-tulang manusia. Benda-benda itu menunjukkan adanya aktifitas komunitas dalam bidang ekonomi dan religious. Benda logam yang ditemukan ada yang berupa terak besi, lempengan besi, pisau besi, parang besi, mata tombak besi, gelang perunggu, mata kail perunggu, nekara perunggu, penutup mata dan mulut dari emas. Selain benda logam ditemukan pula manic yang tebuat dari batu, kaca, dan kerang. Umumnya benda-benda logam manik dan berbagai jenis gerabah yang ditemukan di situs Plawangan ada dalam konteks kubur manusia.

Keistimewaan kubur di Plawangan, selain ada yang menyertakan periuk dan cawan atau benda-benda logam sebagai bekal kubur, serta menggunakan tempayan sebagai wadah, ada sebuah kubur yang menggunakan wadah nekara perunggu. Aziz membagi tata-cara penguburan di situs Plawangan menjadi dua pola penguburan, yakni kubur primer serta kubur sekunder. Masing-masing pola terdiri dari kubur tanpa wadah dan kubur dengan wadah. Posisi rangka pada kubur primer ada yang dalam sikap membujur, jongkok atau melipat dorsal, sedangkan kubur sekunder posisi tulang tidak taratur. Selain itu posisinya juga dihadapkan pada arah tertentu yakni kepala berada pada arah tenggara. Pemberian bekal kubur juga bervariasi baik jenis benda, jumlah atau keletakannya.

Benda-benda tanah liat yang ditemukan di situs Plawangan terdiri dari berbagai jenis wadah seperti: periuk, cawan, tutup periuk, dan tempayan. Selain itu ditemukan juga adanya bandul-bandul jala tanah liat bakar. Di Plawangan rupanya benda-benda gerabah banyak digunakan sebagai perlengkapan penguburan. Hamper setiap kubur memakai gerabah, baik sebagai wadah untuk penguburan atau sebagai bekal kubur.

Melalui pengamatan bentuknya, gerabah Plawangan dapat dibedakan ke dalam tiga jenis gerabah, yaitu tempayan, periuk, dan cawan. Berdasarkan bentuk badan dan dasar atau bentuk umumnya jenis-jenis gerabah tersebut dapat pula digolongkan menjadi tiga kelompok gerabah, yaitu gerabah bulat, gerabah berkarinasi, dan gerabah silindris. Gerabah Plawangan memiliki keistimewaan pada tepian wadahnya. Tepian-tepian wadah itu dapat dibedakan menjadi tepian melipat keluar, tepian melipat ke dalam, tepian langsung, tepian bersusun, dan tepian berlidah.






SUMBER PUSTAKA
Soegondho, Santoso. 1995. Tradisi Gerabah di Indonesia: Dari Masa Prasejarah Hingga Masa Kini. Jakarta: P.T. Dian Rakyat.
http://id.wikipedia.org/wiki/analisis_bentuk_dan_fungsi_gerabah. Di download, 20 April 2010.


Tidak ada komentar: