Al-Hasanah Publishing

Al-Hasanah Publishing
Punya naskah? Ingin diterbitkan jadi sebuah buku? Percayakan naskah Anda bersama penerbitan kami

Kamis, 16 Desember 2021

Ruang Lingkup Kemaritiman Indonesia

Indonesia adalah salah satu negara terbesar di dunia berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayahnya. Indonesia juga merupakan Negara kapulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.508 buah pulaunya. Luas wilayah Indonesia seluruhnya mencapai 5.193.252 km2[1]. Pulau-pulau utamanya adalah Jawa dan Madura (132.187 Km2), Sumatra (473.600 Km2), Kalimantan (539.460 Km2), Sulawesi (189.216 Km2), Bali (5.561 Km2), dan Irian Jaya (422. 981 Km2). Inilah yang menjadi ruang lingkup kemaritiman Indonesia secara geografis.

Adapun aspek lainnya mengacu pada latar sejarah Maritim yang merupakan salah satu bidang sejarah tematik, yang bertujuan mengkaji tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan perkembangan aktivitas manusia di bidang kelautan. Maka, ruang lingkup kajiannya juga mencakup aktivitas pelayaran, perdagangan, perikanan, teknologi navigasi, perkapalan, budaya pesisir, perampokan, angkatan laut, dan sebagainya. Orientasi kajian ini dapat digunakan pada lingkup spasial baik lokal, nasional, regional, dan dunia internasional. Jika dihubungkan secara korelatif antara pentingnya kajian sejarah maritim dengan kondisi faktual-obyektif geografis (wilayah) Indonesia, maka tentu saja akan dan masih dijumpai beberapa kondisi ironis yang memperihatinkan. Sebut saja cap atau label yang telah terlanjur diberikan pada Indonesia sebagai negara agraris, seakan telah menjadi sebuah kesepakatan sejarah yang demikian sulit untuk dibantah. Hal ini tentu saja berangkat dari realita bahwa mayoritas rakyat Indonesia sejak dahulu kala memang telah menjadikan sektor pertanian sebagai penopang ekonomi keluarga.

Selain itu, jika menengok beberapa peninggalan sejarah terutama monumen￾monumen, maka akan ditemukan beberapa simbol karya masyarakat agraris di masa lampau. Hal ini dapat disaksikan pada munomen raksasa sekaliber Candi Borobudur, Mendut, Pawon, Prambanan, Kalasan, dan sebagainya. Padahal, hal tersebut tidaklah terlalu tepat, karena dalam salah satu relief di Candi Borobudur justru budaya maritim tergambarkan dengan jelas dalam bentuk relief perahu yang jelas bagian dari aktifitas kemaritiman yang berkembang di masa lalu, masa wangsa Syailendra yang membangun Candi Borobudur.

Bahkan memasuki era modern, predikat sebagai negara agraris pun tetap melekat kental pada Indonesia. Lihatlah tatkala strategi politik agraria populis diterapkan, tengoklah ketika strategi politik agraria sosialis diimplementasikan, dan saksikanlah saat ideologi kapitalis menjadi kiblat politik di bidang agraria. Gelar sebagai negara agraris inilah, sesungguhnya yang sangat kontras dengan kondisi nyata yang dimiliki oleh Indonesia. Betapa tidak, jika melihat struktur geografis negara ini, maka diperoleh keterangan bahwa wilayahnya terdiri atas gugusan pulau-pulau yang tersebar dari Sabang sampai Marauke atau sebaliknya. Bahkan posisi strategis yang dimiliki oleh Indonesia, yakni berada pada jalur pelayaran dan perdagangan laut internasional antara dunia Barat dan Timur pun menjadi penanda sebuah negara bahari.

Mengacu pada kondisi faktual mengenai posisi geografis Indonesia tersebut, mengisyaratkan bahwa negara yang notabene kaya akan sumber daya alam ini menjadi bagian penting dari aktivitas pelayaran dan perdagangan dunia internasional. Bahkan gugusan pulau-pulau yang dimiliki, dapat disatukan oleh aktivitas laut dalam bentuk pelayaran dan perdagangan antar pulau. Hal ini sekaligus merubah paradigma lama yang cenderung keliru menganggap laut adalah pemisah, menjadi pandangan baru yakni laut itu berfungsi menghubungkan antara satu tempat dengan tempat lainnya.

Hal lain yang tidak kalah menarik untuk diungkap, yakni proses kedatangan bangsa Austronesia dari Yunan Cina Selatan ke Nusantara yang kemudian dianggap sebagai nenek moyang bangsa Indonesia. Perjalanan yang konon menggunakan perahu cadik, merupakan aktivitas yang terkait dengan sejarah maritim. Demikian pula persebaran etnis di berbagai pulau di Nusantara, adalah aktivitas yang sangat terkait dengan sejarah maritim. Dalam perkembangan selanjutnya, aktivitas ekonomi dan jaringan perdagangan antar pulau pun terjadi antara lain ditandai oleh tumbuh dan berkembangnya kota-kota pelabuhan. Lagi- lagi hal ini merupakan bagian integral dari kajian sejarah maritim. Kenyataan tersebut, memberi gambaran kepada kita betapa sejarah maritim memiliki lingkup kajian yang sangat luas. Karena itu, aktivitas kemaritiman sesungguhnya adalah sebuah komunikasi lintas budaya dengan menjadikan laut sebagai mekanisme pemersatu dalam upaya mencapai integrasi nasional sebagaimana yang diharapkan bersama. Pentingnya lintas budaya dan penciptaan kesatuan melalui hubungan laut, dikemukakan oleh Fernand Braudel sebagai berikut: "The sea ... provides unity, transport, the menas of exchange and intercourse...but it has also been the geat devider, the obstacle that had to be overcome ... (laut...mengungkinkan adanya persatuan, pengangkutan, sarana pertukanan dan perhubungan ... Namun demikian laut juga telah menjadi pemisah yang hebat, suatu halangan yang harus diatasi.

Uraian tersebut, menunjukkan bahwa laut memang memiliki beberapa peran vital dalam menciptakan sejumlah aktivitas atau kegiatan. Meskipun demikian, di balik pengakuan akan pentingnya laut sebagai mekanisme pemersatu, justru laut dianggap dapat menjadi pemisah yang hebat. Karena itu, dengan jalinan hubungan yang tercipta melalui berbagai kepentingan (bidang) secara langsung akan menjebol sekat pemisah antar tempat (pulau) yang seharusnya tidak terjadi. Lihatlah ketika jaringan pelayaran dan perdagangan Nusantara terbentuk, yakni sebelum dan sesudah kedatangan bangsa barat dalam 3 (tiga) jalur yakni: pertama, jalur yang menghubungkan antara Malaka dengan perairan Kepulauan Natuna, laut Sulawesi (pesisir utara pulau Kalimantan dan pulau Sulawesi) dan seterusnya kepulauan Maluku atau Philipina atau sebaliknya. Kedua, jalur yang menghubungkan antara kawasan barat dan timur Nusantara dengan melintasi perairan Laut Jawa, perairan Sulawesi Selatan (Selayar), perairan Sulawesi Tenggara, laut Banda dan seterusnya kepulauan Maluku atau sebaliknya. Ketiga, jalur yang menghubungkan pesisir utara Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Laut Banda, dan terus kepulauan Maluku.

Sekadar digambarkan bahwa dari sekian banyak rute pelayaran dan perdagangan di perairan Nusantara, laut Jawa-lah yang paling ramai. Hal ini terkait dengan posisi laut Jawa yang berada di bagian tengah kepulauan Indonesia. Selain itu, laut Jawa memiliki kedudukan strategis dalam jalur lalu- lintas perdagangan dunia yang ramai antara Malaka, Jawa, dan Maluku. Berfungsinya laut Jawa sebagai jembatan penghubung pusat-pusat dagang di sepanjang pantai, pada gilirannya memberi andil penting terhadap tumbuh dan berkembangnya kota-kota dagang di Nusantara. Adapun kota-kota dagang yang dimaksud yakni Banten, Batavia, Cirebon, Semarang, Demak, Rembang, Tuban, Pasuruan, Gresik, Surabaya, Probolinggo, Panarukan, Buleleng, Lampung, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Sampit, Sambas, Makassar, Sumba, Kupang, Larantuka, dan sebagainya.

Kenyataan sejarah yang juga tidak bisa dipungkiri bahwa masuk dan berkembangnya agama-agama di Indonesia, tidak terlepas dari peran aktivitas atau kegiatan maritim. Sebut saja ajaran agama Hindu yang lebih awal masuk dan berpengaruh di Indonesia yakni sejak abad ke-5 atau abad ke-7 M, bahkan mungkin abad 3 M, dengan bukti arkeologis berupa temuan Arca Budha berlanggam Amarawati di Sempaga Mamuju Sulawesi Barat. Demikian pula ajaran agama Islam yang masuk ke nusantara sekitar abad ke-7 dan 8 M dan menjadi agama kerajaan sekitar abad ke-13 M. Perbandingan lainnya terkait dengan pentingnya aktivitas kemaritiman sebagai bagian dari penulisan sejarah Indonesia yang dapat dikemukakan yakni lima jaringan perdagangan (commercial zones) sekitar abad ke-14 dan 15. Pertama, jaringan perdagangan Teluk Begal, yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri Lanka, Birma (kini Myanmar), dan pesisir utara serta barat Sumatra. Kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka. Ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka, Thailand, dan Vietnam Selatan (jaringan perdagangan laut Cina Selatan). Keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, yang meliputi pesisir barat Luzon, Mindaro, Cebu, Mindanao, dan pesisir utara Kalimantan (Brunai Darussalam). Kelima, jaringan Laut Jawa, yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, pesisir barat kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatra.

Khusus di Sulawesi Selatan, juga dapat digambarkan bahwa betapa pentingnya aktivitas maritim dalam bentuk pelayaran dan perdagangan, pada gilirannya tela menjadikan Makassar sebagai kota pelabuhan yang ramai. Betapa tidak, jaringan perdagangan telah terbentuk antara Makassar dengan beberapa tempat seperti Cina, Kepulauan Hindia Belanda Bagian Timur, Singapura, dan sebagainya. Demikian pula saat Selayar menjadi pusat perdagangan kopra terkenal atau The Regional Coconut Centre, pun tidak terlepas dari posisi geografis dan jalur perdagangan yang memungkinkan menjadi bagian dari aktivitas maritim di Nusantara. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa sejarah maritim dalam kenyataannya merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dengan penulisan sejarah Indonesia baik terkait dengan ekonomi, politik, pertumbuhan dan perkembangan kota, masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara, pertumbuhan dan perkembangan kerajaan, migrasi atau mobilitas penduduk, dan sebagainya.

Hal tersebut di atas semakin mempertegas pentingnya kekuatan laut, maka tentu saja menarik ketika kita memperhatikan sebuah pernyataan yang pernah dilontarkan oleh Alfred Thayer Mahan. Ilmuan berkebangsaan Belanda ini, mengatakan bahwa: “para sejarawan pada umumnya tidak mengenal keadaan laut, karena mereka tidak menaruh perhatian khusus terhadapnya. Selain itu mereka juga tidak mempunyai pengetahuan khusus tentang laut, dan mereka tidak mengindahkan pengaruh kekuatan ini yang sangat menentukan jalannya peristiwa besar dunia”. Pernyataan Mahan tersebut, dapat dimaknai sebagai wujud keperihatinan sekaligus tantangan bagi tanggung jawab dan kewajiban ilmiah para sejarawan. Bahkan seolah ia hendak mengajak kita untuk memberi porsi yang pantas bagi laut dalam kajian sejarah, dengan merujuk pada asumsi bahwa sederet peristiwa besar dunia tidak luput dari peran vital dunia maritim (laut).a Berdasarkan perspektif teori Mahan, ada enam unsur yang menentukan dapat tidaknya suatu negara berkembang dengan kekuatan laut, yaitu: kedudukan geografi, bentuk tanah dan pantainya, luas wilayah, jumlah penduduk, karakter penduduk, dan sifat pemerintahnya termasuk lembaga-lembaga nasional. Aspek geografis dalam pandangan Mahan sangat penting sekali, dengan menjadikan Inggris, Belanda, dan Prancis sebagai perbandingan. Sebagai negara kepulauan, Inggris menurut beliau tidak mempunyai pembatasan darat sehingga dalam sejarahnya tidak perlu memikirkan ekspansi dan pertahanan darat. Berbeda dengan Prancis dan Belanda yang harus memperkuat pertahanan daratnya. Mengenai keadaan tanah, Mahan berpendapat bahwa Inggris dan Belanda tidak bisa menggantungkan hidup seluruhnya kepada tanahnya (berbeda dengan Prancis dan Amerika Serikat yang dikaruniai tanah yang subur), terpaksa harus mencari nafkah di laut. Demikian pentingnya letak geografis suatu wilayah, mendorong sejarawan memulai uraiannya dengan menampilkan kondisi lingkungan fisik suatu daerah.


Tidak ada komentar: