Sulawesi Tenggara memiliki bermacam-macam objek wisata budaya dan arkeologi, mulai dari tinggalan prasejarah sampai pada peninggalan masa kolonial yang tersebar di seluruh daerah Sulawesi Tenggara. Di Kota Kendari misalnya, ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara, terdapat banyak sekali objek wisata budaya dan arkeologi berupa tinggalan-tinggalan dari masa kependudukan Jepang. Tinggalan-tinggalan tersebut berupa Makam Raja-Raja, Benteng Pertahanan, Bunker Jepang, Bangunan atau Gedung, dan Gua Jepang. Tinggalan-tinggalan tersebut merupakan objek wisata budaya dan arkeologi yang terletak di kota Kendari, yang merupakan peninggalan masa kependudukan Jepang di kota Kendari.
Berdasarkan hal tersebut, penulis mencoba mendeskripsikan salah satu tinggalan Jepang tersebut, yaitu Gua Jepang. Penulis mengambil Gua Jepang untuk ditulis karena penulis menganggap bahwa tinggalan tersebut menarik. Menurut penulis, Gua Jepang tersebut selain menarik baik dari segi bentuk bangunan Gua Jepang itu sendiri, Gua Jepang tersebut juga dapat menjadi sebuah bukti sejarah bahwa di kota Kendari pernah diduduki oleh Jepang. Selain itu menurut penulis, Gua Jepang tersebut perlu diperhatikan dan dirawat, serta dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.
"Gua Jepang", begitulah masyarakat sekitar menyebut terowongan Jepang tersebut. Gua Jepang ini terletak di Jalan Kampung Alo Lama, Kampung Alo Lama, Kelurahan Anggi Lowu, Kecamatan Mandonga, Kota Kendari. Gua Jepang terletak pada posisi koordinat 03057’28,1” Lintang Selatan dan 122031’02,8” dengan ketinggian 20 meter di atas permukaan laut. Situs ini terletak tidak jauh dari pusat ibukota Kenari. Gua Jepang ini sangat mudah dijangkau karena terletak di pinggir jalan menuju pusat Permandian Batu Gong. Perjalanan menuju situs ini dapat ditempuh dengan menggunakan mobil pribadi, mobil sewa, maupun jasa ojek.
Gua Jepang terletak di tepi tebing, sedangkang di depan gua berupa tanah rata yang kemungkinan tanah kerukan. Tepat di depan mulut Gua Jepang ini, terdapat bangunan tanpa dinding dari kayu yang lantainya dari tanah dan atapnya dari rumbia. Disamping bangunan ini, terdapat rumah kayu yang kecil dan berdempetan dengan bangunan tersebut. Selain itu terdapat pula rumah kecil dari kayu yang juga tanpa dinding, berada di belakang bangunan tersebut atau berada di atas tebing. Di sekitar tebing, terdapat semak belukar yang tumbuh liar.
Gua ini terlihat seperti memanfaatkan kondisi lingkungannya berupa dinding karang yang diproses hingga berbentuk melengkung. Gua Jepang ini memiliki panjang 35 meter, lebar 2,60 meter dan tinggi ruang dalam 2 meter. Gua Jepang ini berbentuk terowongan berupa suatu bangunan yang berbentuk lengkungan. Lengkungan atau mulut gua berukuran agak pendek, sehingga untuk memasuki gua, harus menundukkan kepala. Ketika masuk ke dalam gua, terlebih dahulu akan melewati sebuah tangga kecil yang lurus dan tanpa pijakan. Tangga ini mungkin dulunya memiliki anak tangga, tetapi karena usianya, anak tangga tersebut sudah tidak terlihat lagi karena tertimbun oleh tanah.
Permukaan lantai gua berupa tanah liat coklat yang diratakan. Permukaan tanahnya memiliki kontur tanah yang tidak rata, serta terdapat tumpukan tanah yang lebih tinggi di tengah-tengah gua. Tanah gua dibagian depan yang dekat tangga, agak basah, lembek dan terdapat air-air yang tergenang. Sedangkan tanah yang agak ke dalam, memiliki tanah yang keras. Pada bagian atap gua, berbentuk bekas-bekas pahatan di sepanjang gua.
Berdasarkan dari hasil eksplorasi yang dilakukan oleh peneliti dari Balai Arkeologi Makassar, di situs tersebut belum diketahui secara pasti fungsi dari Gua Jepang ini. Namun menurut masyarakat setempat, Gua Jepang ini dapat dilalui dari dua arah yang berlawanan. Sangat disayangkan ketika dilakukan survei, tim peneliti dari Balar Makassar hanya menemukan satu pintu menuju ke dalam ruang terowongan, sedangkan pada arah yang berlawanan tidak dapat dilalui karena tertutup oleh reruntuhan tanah (Hasanuddin,2010).
SUMBER PUSTAKA
Said, Andi Muhammad. 2010. Database Situs di Sulawesi Tenggara, Kab/Kota Kendari. Makassar: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar
Hasanuddin. 2010. Data Kendari. Makassar: Balai Penelitian Arkeologi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar