Al-Hasanah Publishing

Al-Hasanah Publishing
Punya naskah? Ingin diterbitkan jadi sebuah buku? Percayakan naskah Anda bersama penerbitan kami

Rabu, 20 Maret 2019

Teori dalam Arkeologi (In the Beginning, an Introduction to Archaeology” edisi kelima, karya Brian M. Fagan)

PENDAHULUAN
  • Arkeologi moderen menggunakan metode ilmiah yang dirancang oleh arkeolog seperti halnya yang telah dilakukan oleh ilmuan disiplin ilmu lainnya. 
  • Kualitas arkeolog ditentukan oleh berbagai macam keterampilan atau keahlian khusus, misalnya: menguasai metode dan teori arkeologi dan mampu mempraktekkan metodologinya dengan baik, termasuk juga kedalam keahlian khusus tersebut adalah kemampuan untuk mengganti peran ataupun bekerja sama dengan spesialis dalam disiplin akademik lainnya.  Pengalaman praktek lapangan, kemampuan administrasi dan manejerial juga merupakan hal yang sangat dibutuhkan bahkan untuk sebuah proyek penelitian yang kecil sekalipun.  Semua arkeolog diharuskan mempunyai ketepatan analisis dan kemampuan menulis yang memungkinkan mereka dapat mengkomunikasikan hasil dan rekamannya itu kepada generasi yang akan datang.
  • Metode ilmiah yang digunakan para arkeolog bertujuan untuk memperoleh suatu bentuk pengetahuan dan pemahaman tentang dunia yang dapat diobservasi.  Biasanya mereka bekerja dengan dua bentuk penalaran yaitu: 1) penalaran induktif yaitu yang menyandarkan diri pada observasi spesifik terhadap suatu hal dan kemudian membuat generalisasi terhadap hal yang diobservasinya, dan 2) penalaran deduktif yang dimulai dengan generalisasi suatu hal yang kemudian menghasilkan implikasi spesifik. 
  • Proses penelitian yang berkenaan dengan arkeologi dimulai dengan memformulasi rancangan penelitian yang tepat dan cukup fleksibel dalam rangka mewujudkan penelitian lapangan yang baik dan tepat.  Sebuah proyek penelitian adalah sebuah masalah yang diformulasi sedemikian rupa sehingga dapat diselidiki, termasuk didalamnya mempertimbangkan kondisi geografis yang melingkupinya.  Formulasi diartikan sebagai rumusan latar belakang penelitian dan kemudian membangun hipotesis yang dapat diuji berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan. 
  • Ketika suatu team telah berkumpul di lapangan, sebetulnya mereka telah mulai melakukan kegiatan pengumpulan data melalui observasi, survei situs, dan ekskavasi.  Berbagai kegiatan yang dilakukan itu memungkinkan mereka dapat merekam provinience, konteks arkeologi, sejumlah besar informasi dasar tentang situs, lingkungan alam, dan temuan arkeologinya. 
  • Pemrosesan data arkeologi memungkinkan temuan benda-benda arkeologi dianalisis dan diinterpretasi, yang meliputi kegiatan pemilahan (sorting), klasifikasi (classifying), dan mengurut-urutkan temuan, yang kemudian menguji hipotesis yang dibangun sebagai bagian rancangan penelitian secara keseluruhan. 
  • Tahap terakhir dari penelitian arkeologi adalah mempublikasikan hasil penelitian untuk generasi yang akan datang.

“Arkeolog yang melakukan penggalian tanpa kelayakan prosedur yang sesuai dan memadai, barangkali hanya dapat menguraikan tentang masyarakat pengumpul-makanan atau ahli dalam pekerjaannya, tetapi tidak kreatif dalam membangun ilmu pengetahuan,” demikian yang ditulis oleh Sir Mortimer Wheeler dalam diskripsi klasiknya tentang penelitian yang berkenaan dengan arkeologi (Wheeler, 1954). Arkeologi moderen menggunakan metode-metode ilmiah, yang dikembangkan bukan hanya oleh para arkeolog itu sendiri tetapi juga dengan bantuan berbagai sarjana dari disiplin ilmu lainnya.  Metode ilmiah yang dimaksud merupakan sebuah proses yang meliputi: rancangan penelitian, survei lapangan, ekskavasi yang sesungguhnya, termasuk juga analisis laboratorium terhadap berbagai jenis temuan yang dilakukan secara mendalam. Harus pula dipahami bahwa corak penelitian arkeologi moderen adalah usaha multidisiplin, yang idealnya melibatkan kelompok peneliti yang “berdekatan” dan mempunyai keahlian yang berbeda-beda yang kemudian dapat dirajut bersama.

Sesudah membicarakan kualifikasi arkeologi, akan dilihat keterhubungan antara ilmu dan arkeologi, penalaran induktif dan deduktif, dan kemudian menelaah proses penelitian arkeologi itu sendiri.  



BEBERAPA KEMAMPUAN DASAR YANG HARUS DIMILIKI OLEH SEORANG ARKEOLOG

Para arkeolog masa lalu hanya membutuhkan sedikit kualifikasi untuk menyelami masa lampau misalnya; beberapa pengalaman kecil dalam ekskavasi, dan sedikit kemampuan untuk mengklasifikasi artefak-artefak.  Sir Leonard Woolley, penggali terkenal pada situs Ur-of-the-Chaldees di Mesopotamia dalam tahun 1920-an, sebelumnya telah melengkapi diri dengan latihan dengan cara mengikuti berbagai ekskavasi pada beberapa musim penelitian di Sudan.  Dalam wawancara dengan Rektor Oxford College, sang presiden berkata: “Saya telah memutuskan bahwa kamu harus menjadi seorang arkeolog”.  Suatu keberuntungan bagi dunia ilmu pengetahuan, Woolley mengikuti Sang Rektor (Fagan, 1979). 
Bagaimanapun juga, para arkeolog tahun 1980-an diharuskan menempuh latihan-latihan khusus dalam hal administrasi, teknik, dan kemampuan akademik dalam berbagai bentuk.  Arkeologi moderen kemudian menjadi begitu kompleks sehingga menghasilkan beberapa individu yang mungkin sangat menjadi ahli pada semua keahlian yang dibutuhkan, umpamanya dalam ekskavasi yang dilakukan pada sebuah situs kota besar atau bahkan pada pemukiman ukuran menengah yang mempunyai kondisi preservasi sangat baik.  Dalam tahun 1920-an, Leonard Woolley mengekskavasi Ur dengan beberapa orang Eropa, tiga tenaga ahli Syria yang bekerja sebagai mandor, dan beberapa ratus pekerja lokal.  Ekspedisi ke situs yang setara dengan yang harus dilakukan sekarang akan sangat berhati-hati dalam mengorganisir team yang terdiri dari tenaga ahli yang kemampuannya mencerminkan ketepatan hipotesis tentang situs yang akan diuji di lapangan. 

Kemampuan-kemampuan Teoritik. Arkeolog seharusnya mampu untuk menjelaskan masalah-masalah penelitian dalam konteks: semua yang diketahuinya tentang masalah-masalah penelitian itu.  Pengetahuan itu termasuk bukan hanya kedudukan masalah kajian spesifiknya dalam penelitian mutakhir, misalnya asal muasal umat manusia atau awal pemukiman manusia di Ohio, tapi juga kemajuan-kemajuan teoritik dan yang berkenaan dengan metodologi yang telah dicapai dan mutakhir dalam dunia arkeologi yang akan berpengaruh pada defenisi dan solusi dari masalah yang digarapnya. 

Masalah penelitian dijelaskan melalui sasaran atau tujuan yang akan diperoleh.  Arkeolog harus mempunyai keakhlian khusus untuk memformulasi hipotesis yang tepat yang akan diuji di lapangan.  Sebagai penelitian yang baru mulai berjalan, dia dituntut untuk mampu mengevaluasi dalam konteks memperbaiki hasil pekerjaan  ataupun membuang hipotesis yang terbukti jauh dari sasaran ataupun tujuan awal penelitian.

Keakhlian Khusus yang Berkenaan dengan Metodologi. Setiap arkeolog harus mempunyai kemampuan untuk merencanakan metode-metode yang akan digunakan dalam penelitian untuk memperoleh tujuan-tujuan teoritis yang telah direncanakan sebelumnya.  Kemampuan metodologik termasuk kelihaian untuk memilih salah satu diantara metode-metode pengumpulan data, dan memutuskan metode analitik yang mana yang lebih efektif dalam menangani data.  Ekskavasi situs membutuhkan sederetan panjang kemampuan metodologi, mulai dari memutuskan  sistem-sistem sampling dan trenching yang mana yang dipakai, merancang metode-metode perekaman data, sampai kepada penanganan khusus dan preservasi terhadap objek-objek yang mudah pecah yang akan dikeluarkan dari matriksnya dengan utuh.

Satu aspek penting dalam keakhlian khusus metodologi yaitu membutuhkan pemilihan dan kerja sama dengan ahli lain dari disiplin ilmu lainnya.  Pekerjaan ini meliputi pengertian tentang penelitian yang multidisipliner dan mengetahui cara kerja dan batas-batas kerja masing-masing ilmu misalnya geolog, ahli zoology, untuk masalah-masalah khusus sebagai salah satu bagian yang sedang diteliti. 

Kemampuan-kemampuan Teknik. Kemampuan metodologi dan kemampuan teknik saling tumpang tindih, khususnya di lapangan.  Ekskavasi saintifik pada suatu situs atau survei lapangan berskala luas membutuhkan kemampuan lebih, dalam hal menseleksi metode atau sistem-sistem perekaman data; oleh karena itu seseorang harus juga menjalankannya di bawah kondisi pekerjaan.   Dalam ekskavasi, arkeologi membutuhkan ketepatan tinggi dalam pengukuran dan ekskavasi, menyebarkan tenaga kerja terdidik dan tidak terdidik, dan mengimplementasikan sistem-sistem penyelamatan temuan yang menjaga agar artefak-artefak tetap dalam susunan yang teratur, mulai dari saat temuan-temuan itu ditemukan hingga dikirim ke laboratorium untuk dianalisis.  Pokok persoalan  disini adalah provinience artefak dan fitur serta asosiasi ekofak (ekofak terdiri dari material non-artefaktual misalnya sisa makanan dan temuan lainnya yang dibuang dalam aktivitas manusia).  Arkeolog lapangan dapat berperan sebagai supervisor, fotografer, surveryor, penggali, recorder, pencatat, dan ahli tanah, begitu juga harus dapat melakukan pekerjaan yang tidak diharapkan, misalnya dalam hal membuka tulang-tulang tengkorak yang rapuh ataupun menyusun program komputer.  Dalam situs yang besar, mahasiswa terlatih baik atau fellow archaeologist boleh berperan dalam tugas khusus sebagai fotografer; dalam situs kecil, arkeolog kadang-kadang melakukan itu semua dan tugas lainnya sendirian. 

Kemampuan-kemampuan Administratifdan Manajerial. Arkeologi moderen membutuhkan—atau sebetulnya memerlukan—praktisi-praktisi administrasi dan manajerial tingkat tinggi.  Saat ini arkeolog telah terampil berkoordinasi dengan seseorang yang aktif dalam spesialis dari disiplin ilmu lain, mengorganisir dan mengatur anggota team mahasiswa sukarelawan serta tenaga bayaran, membangun dan mengatur dana penelitian yang diperoleh dari sumber-sumber luar.  Dia mesti selalu mengingat kepada semua aspek proyek penelitian yang berlangsung, dari menyusun perisinan dan menyalurkan alat tulis menulis dan peralatan penggalian sampai kepada mengerjakan keuangan.

Di atas semua itu, setiap orang yang bekerja dalam proyek arkeologi harus menjadi seorang yang akhli dalam human relation, dalam menjaga orang-orang agar tetap senang bekerja dalam pekerjaan, yang kadang-kadang bekerja dibawah kondisi yang sulit dan tidak menyenangkan.  Sisi diplomatik dari ekskavasi arkeologi kadang kala diabaikan, tetapi dongeng tentang arkeologi mengenai ceritera tentang ekskavasi yang menimbulkan bencana, selalu saja diperdengarkan oleh arkeolog dengan tanpa kepekaan kepada teman-teman sepekerjaan mereka.  Ekskavasi yang benar-benar membahagiakan adalah kegembiraan dalam bekerja seharian penuh, menggali dengan tersenyum, memperdebatkan—bukan mempertengkarkan—dengan sengit sekitar interpretasi profil stratigrafi, dan menikmati persahabatan dalam api unggun pada malam hari. 

Kemampuan Menulis dan Analitik. Jika ada satu pelajaran dasar yang akan dipelajari pada setiap permulaan kerja arkeologi, maka pelajaran itu adalah pemahaman bahwa semua ekskavasi akan merusak arsip-arsip yang tersimpan dalam tanah yang sifatnya terbatas, yang mana arsip-arsip tersebut tidak akan pernah dapat dibaharui kembali kedalam konfigurasi aslinya.  Setiap arkeolog bertanggungj awab penuh bukan hanya untuk menganalisis temuan-temuannya dalam laboratorium, tapi juga mempersiapkan rincian laporan pekerjaan lapangan yang telah dilakukan; suatu bagian yang penting dari rekaman penelitian arkeologi.  Hal yang paling disesalkan adalah ketika rak-rak yang terpasang pada semua musium di dunia ini diisi oleh temuan-temuan dari situs-situs yang pernah diekskavasi tapi tidak pernah ditulis.

Pertama secara sekilas, daftar kualifikasi-kualifikasi yang dibutuhkan bagi arkeolog profesional dapat disusun secara tegas.  Walaupun dalam prakteknya, apa-apa yang dilakukan dalam ruang kelas perkuliahan dipersatukan dengan sebagian besar pengalaman lapangan yang dapat memberikan sebuah latar belakang yang diperlukan. 





REFERENSI:

Tulisan ini semuanya merupakan hasil terjemahan Part IV Chapter 9 dari buku yang berjudul “In the Beginning, an Introduction to Archaeology” edisi kelima, karya Brian M. Fagan yang diterbitkan pada tahun 1985 halaman 177—189. 

Tidak ada komentar: