Penguasaan Eropa khususnya Belanda atas kepulauan Nusantara, tidak hanya terbatas pada usaha dalam penguasaan wilayah politik, ekonomi, dan kekayaan Nusantara. Penguasaan tersebut juga mencakup upaya penguasaan seluruh aspek kehidupan bangsa di kawasan ini.
Kaum kolonial juga berusaha untuk menundukkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat Nusantara untuk patuh dan mengikuti keyakinan dan kepercayaan mereka. Oleh karena itu, untuk hal tersebut mereka berupaya agar dapat memahami bahasa-bahasa dan budaya masyarakat Nusantara, antara lain dengan mempelajari naskah-naskah Nusantara. Dengan melakukan penguasaan bahasa-bahasa Nusantara, selanjutnya dapat dengan mudah melakukan penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa Nusantara.
Pada tahun 1600 M, seorang pedagang yang juga merupakan penginjil dari Belanda yang bernama Ruyl, datang bersama Yacob van Neck. Kemudian pada tahun 1629 M yaitu 30 tahun setelah kedatangan Belanda di Nusantara, terbitlah terjemahan Alkitab pertama dalam bahasa Melayu, sebuah terjemahan karya Albert Cornelisz dan Ruyl.
Penginjil lainnya yang berminat pada bahasa Melayu adalah Dr.Melchior Leijdecker tahun 1645-1701. Dalam upaya meningkatkan kemampuan dalam bahasa Melayu, beliau banyak membaca naskah-naskah Melayu dan menulis beberapa karangan dalam bahasa melayu. Pada tahun 1691 M, Dr.Melchior mendapat perintah dari Dewan Gereja Belanda untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu, dan dengan kemampuan yang tinggi menerjemahkan dalam bahasa Melayu, akan tetapi tidak sempat diselesaikan karena meninggal dunia, sehingga penerjemahan tersebut dilanjutkan oleh penginjil lain yaitu Petrus Van Den Vorm tahun 1664-1731. Jilid pertama dari karya tersebut kemudian diterbitkan pada tahun 1835, dimana Petrus datang ke Indonesia tahun 1638. Petrus dikenal sebagai seseorang yang menguasai banyak bahasa Timur Tengah termasuk bahasa Ibrani.
Pada tahun 1666-1727, Francois Valentijn yang merupakan seorang pendeta dan berpendidikan Teologi di Universitas Leiden, datang ke Indonesia dan bertugas di Kepulauan Maluku. Berdasarkan pengamatan selama beliau tinggal di Indonesia, Valentijn berhasil menulis kebudayaan dari berbagai aspek, termasuk di dalamnya penyebutan mengenai sejumlah naskah Nusantara. Perhatian terhadap bahasa dan sastra Melayu yang besar, serta dengan penguasaan bahasa Melayu yang sangat baik pula, sehingga memudahkan Valentijn menyebarkan Beibel dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Melayu, serta menyusun sebuah kamus bahasa Melayu.
Penginjil lain yang juga menguasai bahasa Melayu adalah G.H. Werndly. Dalam tulisannya Maleische Spraakkunst yang terbit tahun 1736, melampirkan Maleische Boekzaal, berupa daftar naskah-naskah Melayu yang dikenalnya sebanyak 69 naskah dengan ringkasan isi dan deskripsi pendek.
Sumber:
Catatan kuliah Agus Supriatna ketika menempuh pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar